GUDANGQ

AL ILM QOBLA QOUL WAL 'AML

Rabu, 21 Januari 2009

NILAI, ETIKA, IDEALISME DALAM FILSAFAT....GIMANA SIH?

by. wahyu_ululalbab_fighter

yang baik belum tentu benar dan yang benar belum tentu baik maka jauhilah yang salah lagi tidak baik dan pillihlah yang baik lagipula benar”

Dalam menjalani hidupnya, seorang manusia tidak akan terlepas dari keterkaitan hubungan dengan manusia yang lainyan dalam artian manusia sebagai mahluk sosial. Aktifitas yang dilakuakn manusia dalam interaksi sosial selalu bersinggungan dengan nilai-nilai, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga secara sadar maupun tidak manusia menjalani hidupnya dalam segala aktifitasnya berlandaskan pada nilai-nilai dalm lingkup dirinya, orang lain dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pembahasan yang berkaitan dengan konsep nilai (value), sebenarnya merupakan kajian yang sangat erat secara substansial dengan persoalan etika. Oleh karena itu, kajian dalam persoalan nilai ini biasanya mempertanyakan apakah yang ”baik” dan “tidak baik”, atau bagaimana “mesti” berbuat “baik” serta tujuanya bernilai. Hal ini menyentuh pertanyaan apa dasar yang menjadi pembenaran suatu keputusan moral ketika disebut “baik” atau “tidak baik”.

Adapun hubunganya dengan filsafat ialah, filsafat merupakan seperangkat keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap, cita-cita, aspirasi-aspirasi dan tujuan-tujuan, nilai-nilai dan norma-norma, aturan-aturan dan prinsip etis. Menurut Sidney Hook, filsafat juga pencari kebenaran, suatu persoalan nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan nilai untuk melaksanakan hubunganhubungan kemanusiaan secara benar dan juga berbagai pengetahuan tentang apa yang buruk atau baik untuk memutuskan bagaimana seseorang harus memilih atau bertindak dalam kehidupannya.

A. Nilai dan Etika

1. Kajian Nilai

Membahas masalah nilai atau teori tentang nilai berarti kita membahas tantang aksiologi karena aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios(nilai) dan logos(teori) jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.1 Dalam Encyclopedia of Philosophy menjelaskan bahwa aksiologi (teori tentang nilai) ada tiga bentuk :

a. Nilai, yang digunakan sebagai kata abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Dan dalm pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.

b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali diapakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.

c. Nilai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai.2

Setidaknya ada dua aliran dalam kaian nilai yaitu aliran naturalisme dan nonnaturalisme, adapun penjelsasanya adalah sebagai berikut :

a. Aliran naturalisme

Aliran ini menganggap bahwa nilai adalah sejumlah fakta, oleh karena itu setiap keputusan nilai dapay diuji secara empirik. maka sifat perilaku seperti jujur, adil, dermawan dan lainya atau kebalikanya merupakan indikator seseorang itu berpeilaku baik atau tidak baik. Selain bentuk pengujian seperti ini, konsekuensi dari setiap perbuatan adalah juga merupakan indikator seseorang itu baik atau tidak baik. Maka dapat kita lihat bahwa keputusan nilai pada naturalisme bersifat ungkapan faktual, sehingga dapat diuji secara empirik.

b. Aliran nonnaturalisme

Aliran ini menganggap bahwa nilai tidak sama dengan fakta, artinya fakta terpisah dengan nilaidan secara absolut (mutlak) tidak terdeteksi satu sama lainya. Berbeda dengan naturalisme, mengingat bagi nonnaturalistik nilai itu bukan fakta, tetapi bersifat normatif dalam memberitahukan sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, maka keputusan nilai pada kelompok ini tidak dapat diketahui melalui uji empirik, akan tetapi hanya dapat diketahui melalui apa yang disebutnya dengan intuisi moral yang telah dimiliki manusia, yaitu kesadaran langsung adanya nilai murni seperti benar dan salah dalm perilaku, objek seseorang.3

Untuk lebih dapat memahami kajian tentang nilai ini. kami kutip pandangan Raghib Al-Ishafani, dia mengakui adanya tiga bentuk kebaikan. Yaitu baik karena zatnya, baik karena yang lainya, dan baik karena zatnya dan yang lainya. Namun ia kemudian mempertegas bahwa hanya ada dua bentuk nilai kebaikan. Yaitu kebaikan mutlak (khoir mutlaq) dan kebaikan kondisional (khoir muqoyyad). Khair mutlaq adalah perbuatan baik yang dipilih karena perbuatan itu sendiri dan setiap orang yang berakal sangat menginginkanya. Hal itu karena khair mutlaq memiliki sifat manfaat, indah dan lezat.4 Dengan konsep seperti ini, ia menyimpulkan bahwa apa saja yang berada pada posisi manfaat dan pendorong untuk meraih khair ukhrawi dan kebahagiaan hakiki maka itu disebut sebagai kebaikan dan kebahagiaan. Adapun kebaliknanya adalah sifaf sharr (jelek) yang memiliki sifat-sifat seperti aniaya, tercela dan merugikan diri. Sifat tersebut disebut sharr atau jelek itu sendiri. Pada hal ini dapat kita ambil contoh pernikahan anatara dua insan yang berbeda jenis yang salaing mencintai. Kebahagiaan akan memenuhi jiwa dan raga mereka karena untuk menunaikan fitrah dari Allah SWT mereka memilih jalan syariat yaitu menikah. .

Sebaliknya khair muqoyyad (kebaikan kondisional) adalah, selain memiliki sifat-sifat khair mutlak juga terdapat didalamnya sifat-sifat sharr (jelek). Untuk menentukan sesuatu itu “baik” ditentukan sejauh mana “sifat-sifat baik” yang ada dalm sesuatu itu memeberikan lebih dibanding “sifat-sifat tidak baik”. Dapat dipahami bahwa dalam khiar ini sesuatu itu memiliki nilai baik bukan disebabkan perbuatan itu sendiri, atau dipilih bukan karena perbuatan itu sendiri tetapi karena sesuatu diluar perbuatan itu. Pada hal ini dapt kita ambil contoh pada perperangan dimana didalamnya terdapat pembunuhn-pembunuhan hal ini jelas dipilih bukan karena perbuatan pembunuhan itu sendiri namun karena sesuatu diluar itu. Sebagaimana rakyat palestina yang melakukan berbagai macam cara untuk mempertahankan dan untuk mendapatkan keadilan bagi diri mereka. Sehingga saat ini kita mengenal ada yang dinamakan bom bunuh diri atau dalam pendapat lain adalah bom syahid.


2. Kajian Etika

Bertolak pada kajian mengenai etika maka kita pahami dulu arti dari etika itu sendiri. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang memiliki pengertian adat istiadat (kebiasaan), perasaan batin serta kecenderungan batin untuk melakukan sesuatu. Adapun moral (mores) juga berarti adat atau kebiasaan. Di dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum dinyatakan bahwa etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan tentang keluhuran budi (baik/buruk).5

Sebenarnya terdapat kesamaan antara etika dan moral, namun menurut para ahli filsafat bahwa perbedaan antara etika dan filsafat adalah etika memandang perilaku dan perbuatan manusia secara umum sedangkan moral melihatnya secara lokal. Namun dalam makalah ini, hanya fokus dengan kajian masalah etika dikhawatirkan makalah ini akan terlalu panjang dan kompleks sehingga susah untuk dikaji bersama dalam forum diskusi kelas walaupun disadari kajian tentang moral sangat erat dan tak terlepas dari kajian nilai dan etika.

Etika pada dasarnya merupakan penerapan dari nilai tentang baik buruk yang berfungsi sebagai norma atau kaedah tingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain, sebagai espektasi atau apa yang diharapkan oleh masyarakat terhadap seseorang sesuai dengan status dan peranannya, dan etika dapat berfungsi sebagai penuntun pada setiap orang dalam mengadakan kontrol sosial.

Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalu dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat diakatakn pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik dalam suatu kondisi yang normatif (pelibatan norma).

Maka dari pemahaman seperti diatas yaitu etika ketika bersinggungan dengan norma. Maka munculah pemikiran-pemikiran mengenai etika itu sendiri. Sebagaiman dikatakan oleh Dr. Frans Magnis Suseno “etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi dilain pihak etika juga tidak bertentangan denagn agama”. Hal ini sejalan dengan perkataan-perkataan yang sering kami dengar dalam ceramah-ceramah yaitu manusia akan menjadi baik sekalipun ia tidak mempunyai tuntunan sebagaiman Al Quran dengan mengandalkan akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah atau bisa kita gunakan kata lain yaitu kebijaksanaan.

Teringat perkataan Socrates, ia mengatakan “aku bukanlah tuhan tapi aku senang dengan kebijaksanaan”. Dari hal ini dapat dianilisis bahwa etika merupakan ilmu kebijaksanaan yang diberikan Allah SWT kepada manusia, sehingga denganya kita dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk bagi kita. Namun perlu ditegaskan dalm diri kita bahwa yang maha bijaksana hanyalah Allah SWT sehingga kebijaksanaan Allah dalam mengatur dan menentukan sesuatu hal diatas kebijaksanaan kita dalam mengatur dan menentukan sesuatu.

Etika menurut H. Devos merupakan ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan, ini berarti bahwa etika membicarakan kesusilaan secara ilmiah6 Dan kesusilaan merupakan keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang mengambil bentuk perintah dan larangan.

Berikutnya terdapat tanda tanya pada diri kita mengenai etika dan ahlak. Dalam berbagai bentuk bahasan dan tulisan para pakar, mempersamakan secara etimologi tentang pengertian ahlak dan etika. Namun didalm buku Pengantar Studi Akhlak yang juga menjadi referensi kami dalam penulisan makalah ini menegaskan bahwa ahlak berbeda dengan etika ditinjau dari norma yang mendasarinya. Dan menurut pemahaman kami, ahlak dan etika itu sejalan sebagaimana disampaikan para pakar. Yang menjadi permasalahan hanya pada penggunaan kata yaitu etika dan ahlak itu sendiri. Ahlak berasal dari bahasa Arab dan etika dari bahasa Yunani. Padahal sumber etika yang utama adalah Alquran dan Al- hadist juga sebagaimana dipahami sebagai dasar ahlak.


B. Filsafat, Nilai dan Etika dalam Kehidupan Sosial

Filsafat ialah seperangkat keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap, cita-cita, aspirasi-aspirasi dan tujuan-tujuan, nilai-nilai dan norma-norma, aturan-aturan dan prinsip etis. Menurut Sidney Hook, filsafat juga pencari kebenaran, suatu persoalan nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan nilai untuk melaksanakan hubungan-hubungan kemanusiaan secara benar dan juga berbagai pengetahuan tentang apa yang buruk atau baik untuk memutuskan bagaimana seseorang harus memilih atau bertindak dalam kehidupannya.

Telah dijelaskan pula dalam bab pendahuluan bahwa filsafat merupakan seperangkat keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap, cita-cita, aspirasi-aspirasi dan tujuan-tujuan, nilai-nilai dan norma-norma, aturan-aturan dan prinsip etis. Menurut Sidney Hook, filsafat juga pencari kebenaran, suatu persoalan nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan nilai untuk melaksanakan hubunganhubungan kemanusiaan secara benar dan juga berbagai pengetahuan tentang apa yang buruk atau baik untuk memutuskan bagaimana seseorang harus memilih atau bertindak dalam kehidupannya.

Nilai-nilai menolong kita membentuk pola-pola suatu fakta dan mengidentifikasikan keberartian (makna) fakta-fakta tersebut. Gordon menyatakan pentingnya untuk mengakui hak tersebut, bila mana kita mengetahui keberadaan dan perbedaan fakta-fakta yang kita nilai. Praktek kehidupan yang efektif, diperoleh melalui penggunaan keinginan keinginan yang berbeda dan tepat,atau melalui tinjauan situasi yang empirik dan objectif dan melalui penggunaan nilai-nilai atau prinsip-prinsip faktual. Gordon mempercayai bahwa dari perbedaan-perbedaan yang penuh kehati-hatian, pengetahuan faktual akan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan pekerjaan sosial.

Florence kluckholn mengindentifikasikan sejumlah orientasi nilai yang nampaknya berkaitan dengan masalah kehidupan dasar atau dalam artian dalam kehidupan sosial :

1. Manusia berhubungan dengan alam atau lingkungan fisik, dalam arti mendominasi, hidup dengan atau ditaklukan alam.

2. Manusia meniali sifat/hakikat manusia sabagai baik, atau campuran antara baik dan buruk.

3. Manusia hendaknya bercermin pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.

4. Manusia lebih menyukai aktifitas yang seang dilakukan, akan dilakukan, atau telah dilakukan.

5. Manusia menilai hubungan dengan orang lain, dalam kedudukan yang langsung, individualistik, atau posisi yang sejajar.

Adapun etika, pada dasarnya merupakan penerapan dari nilai tentang baik buruk yang berfungsi sebagai norma atau kaedah tingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain, sebagai espektasi atau apa yang diharapkan oleh masyarakat terhadap seseorang sesuai dengan status dan peranannya, dan etika dapat berfungsi sebagai penuntun pada setiap orang dalam mengadakan kontrol sosial.

C. Idealisasi Diri dalam Kehidupan

Menurut pandangan Al-Mawardi proses pembentukan idealisme karakter muslim lebih didasari suatu pandangan, bahwa manusia tidak dapat berkembang tanpa pendidikan (ta'tib, tahzib). Al-mawardi mendasarkan pandangan itu, karena jiwa itu mempunyai kecenderungan alami utuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Menyadari adanya unsur negatif pada jiwa yang berupa nafsu (al-hawa, al-shahwah), maka jalan terbaik untuk melawan nafsu tersebut adalah pelatihan diri. Proses pelatihan tersebut menjadi efektif, jika ada pembimbing yang dapat mengarahkan dan mengoreksi berbagai kekekiruan yang dilakukan seorang anak. Orang tua dan para guru mengemban misi untuk mengarahka karakter anak melalui proses pendidikan dan pengajaran. Melalui proses pendidikan itu, seorang guru akan menanamkan rasa cinta dan ketertarikan seorang anak pada ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan pada hakikatnya merupakan simbol kemulyaan tertinggi bagi orang. Oleh karena itu, eksistensi seorang pendidik menjadi semakin vital, karena ilmu pengetahuan ternyata menjadi penggerak tercapainya karakter yang bermutu tinggi.7

Hasil dari proses pendidikan yan baik adalah terbentuknya perkembagan yang kognitif seorang, yang pada giliranya berperan mengarahkan perilaku moralnya. Melalui kekuatan akalnya, seorang akan mampu menghargai hal yang paling baik dan apa yang berguna. Pada saat yang sama seorang akan mampu mengendalikan nafsu dan keinginan yang besar. Al-mawardi memisahkan antara “aturan-aturan disiplin dan perubahan karakter” dan ”aturab bertingkah laku baik”.

Hal tersebut diatas membuktikan konsistensinya terhadap pentingnya perilaku individual dan perilaku masyarakat. Kedunya harus dipadukan manjadi satu untuk membentuk karakter yang ideal, karena semua kebajikan selalu mempunyai tujuan yang ganda, individu dam kolektif. Oleh karena itu Mohammed arkoun menila, bahwa tidak ada tingkah laku yang baik, jika tidak ada tindakan yang sama dalam kelompok.

Al-Mawardi berusaha merangkai antara sikap hati-hati terhadap langkah yang hendak diambil yang diistilahkan sebagai termal haya dengan penguasaan diri dalam keadaan marah. Kebenaran dan kejujuran, penerimaan takdir dengan ikhlas. Hal itu dilakukan dalam usaha untuk mewujudkan karakter ideal yang dimaksud. Akumulasi empat sikap pada diri seseorang untuk mencapai karakter ideal tersebut tentunya memerlukan kesungguhan, kesabaran dan waktu yang lama. Oleh karena itu proses pembentukan karakter seorang perlu dilakukan secara berkesinambungan.

Kesimpulan dari berbagai keterangan tersebut, kiranya tidak terlalu salah jika dikatakan, bahwa karakter ideal melalui berbagai proses dapat membentuk seseorang mampu merealisasikan suasana hati yang jernih dalam tingkah laku dan beribadah. Kejernihan hati akan mendorong seseorang mampu melaksanakan setiap perbuatan dalam kondisi dan batas normal yang sudah ditentukan. Dan demikian akhirnya, seseorang mampu memberikan kontribusinya dalam pencegahan dekadensi moral secara umum. Tepat kiranya pepatah menyebutkan: aslih nafsaka yasluh laka al-nas.

Maka dalam hal ini kita munculkan pula sebuah konsep diri, yaitu insan kamil. Insan kamil berasal dari bahasa arab, yang berarti manusia yang sempurna. Konsep insan kamil diperkenalkan oleh ibnu arabi, menurut ibnu arabi hanya insan kamil yang memilikin kemungkinan mengenal secara pasti dan benar, dan melalui insan kamil, tuhan mengetahui dirinya sendiri, karena insan kamil adalah irodah dan ilmu tuhan yang dimanifestasikan.8

Seorang akan makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Maha Mutlak, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan nama serta sifat-sifat Tuhan kedalam hakikat atau esensi dirinya.dalam pengertian inilah esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut juga pada dasarnya menjadi milik manusia sempurna.

Menurut Muhammad Iqbal, proses lahirinya insan kamil melalui tiga tahap,yaitu :

1.ketaatan pada hukum

2.penguasan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran tentang pribadi

3. kekhalifahan Ilahi.

Sosok insan kamil dapat dilihat dari para nabi, seperti Nabi Ibrihim yang bergelar khalilullah(sahabat Allah), nabi muhammad dijuluki habibulloh(kekasih Allah, nabi Musa disebut kalamullah(pembicara Allah), nabi Isa ruhullah(ruh Allah) dan nabi-nabi dan rosulnya. Namun, julukan insan kamil bukan milik mutlak para nabi, melainkan ditijukan pula kepada sebagian manusia, yaitu bagi mereka yang beriman, bertaqwa, daberamal sholeh

Kesimpulan

Menjadi manusia yang baik merupakan idaman setiap orang, baik dalam dimensi rohani yang berhubungan dengan tuhan maupun baik dalam dimensi jasmani yang terkait dalam kehidupan sosial. Namun tidak sedikit manusia yang tidak dapat melakukan itu, entah karena kurangnya ilmu dalam kebaiakan yang pada bagian ini berhubungan pada tarbiyah(pendidikan), kurangnya memahami nilai atau mungkin karena pengaruh lingkungan yang membentuk pola hidup yang tidak mengenal etika yang baik atau karena hal-hal yang lain yang berkaitan dalm pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu pengkajian akan nilai, etika dan implementasinya dalam kehidupan sosial sangatlah diperlukan, terlebih ditambah dengan bagaimana cara dalm penanaman esensi-esensi nilai dan etika pada diri seseorang untuk membentuk pribadi ideal dan yang lebih tinggi adalah konsep insan kamil.


Saran

Hendaknya kita sebagai mahasiswa dapat mengimplementasikan konsep pribadi ideal sampai pada konsep diri insan kamil. Karena kita adalah manusia yang telah dididik yang secara langsung maupun tidak langsung selam proses pendidikan tersebut telah tertanam pada diri kita esensi-esensi nilai dan etika baik pada dimensi batin maupun dimensi lahir. Oleh karena itu kita kita perlu lagi “menyelami” diri kita karena mungkin esensi-esensi nilai dan etika yang kita dapatkan itu belum lagi dapat menjadikan diri kita ideal bahkan bagi diri kta sendiri. Marilah kita latih diri kita untuk “menyemaikan” nilai-nilai yang telah ada mulai dari hal yang terkeci sekalipun, contohnya menyingkirkan hal yang dapat mengganggu di jalan sebagaimana yang dikabarkan Rasulullah SAW sebagai cabang iman yang terkecil.


DAFTAR PUSTAKA

AR, Zahrudin dan Sinaga, Hasanuddin. 2004. Pengantar Studi Ahlak. Jakarta. Rajawali Press.

Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta. Rajawali Press.

M, Amril. 2002. Etika Islam. Pekanbaru. Pustaka Pelajar.

Syukur, Suparman. 2004. Etika Religius. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

1 Burhanuddin Salam, Logika Materi;Filsafat Ilmu Pengetahuan,(Jakarta:Reneka Cipta, 1997), cet ke-1 hlm. 168.

2Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A;Filsafat Ilmu( Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004), edisi revisi, hlm. 164.

3Dr. Amril M. MA, Etika Islam;Telaah Pemilkiran Filsafat Moral Raghib Al-Ishafani, (Pekanbaru:Pustaka Pelajar), cet-1 hlm.213.

4 Dr. Amril M. MA, Etika Islam;Telaah Pemilkiran Filsafat Moral Raghib Al-Ishafani, (Pekanbaru:Pustaka Pelajar), cet-1 hlm.216.

5 M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, Usaha Nasianal, Surabaya, tahun 1981, hlm. 144.

6 Dr. H. Devos, Pengantar Etika, Tirta Wacana, Yogyakarta, 1987, hlm. 4.

7Suparman Syukur, Etika Religius, (Yogyakarta: Etika Religus, 2004) Cet-1, hal 309.

8Rivay sigerar, Tsawuf dari Suffisme Klasik Ke Neo Suffisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Cet ke-1, hal 211.

logika, filsafat, apa sih itu.....?

by. wahyu_ululalbab_fighter

Berpikir adalah salah satu ciri identitas manusia, dengan berpikir manusia dapat menyelesaikan suatu masalah dengan memberiakn kesimpulan-kesimpulan yang menjadi acuan dalam penyelesaian masalah tersebut. Namun, hal itu bukanlah hal yang dapat dilakukan secara instan tanpa ada kerangka berpikir yang benar.

Oleh karena itu, dalam makalah ini saya mencoba menjelaskan tentang logika. Yang didalamnya turut saya bahas aturan-aturan dalm berpikir disamping makan pemahaman arti logika itu sendiri. Dalam makalah ini saya juga mencoba menampilkan sebuah paham filsafat yang berkaitan dengan kajian logika ini dan ada pula kajian fenomena keseharian yang membahas sebuah hal yang kontroversial.


A. Logika

Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap shahih (valid) jika proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan itu disebut dengan logika.

Logika secara luas dapat didefenisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara shahih”.1 Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan melakukan penelaahan yang seksama hanya terhadap dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif.

Logika induktif erat kaitanya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif adalah kebalikanya yaitu penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat umum menjadi yang bersifat khusus.

Penarikan kesimpulan pada suatu kasus yang berupa suatu statement tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratanya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang ditarik akan salah.

Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. argumentasi matematika seperti a sama dengan b dan bila b sama dengan c maka a sama dengan c merupakan suatu penalaran deduktif. Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru bahwa a sama dengan c pada hakikatnya bukan merupakan pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekadar konsekuensi dari dua pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya.

Tak pernah ada kejutan dalam logika, simpul Wittgenstein, sebab pengetahuan yang diperoleh merupakan kebenaran tautologis.2 Namun benarkah ulangan matematika tidak pernah menimbulkan kejutan? Seperti pernyataan Taufiq Ismail dalam sajaknya yang berjudul Ladang Jagung “bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi empat?”.3

berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar daripada satu. Berpikir tidak dapat dijalankan semaunya. Realitas begitu banyak jenis dan macamnya, maka berpikir membutuhkan jenis-jenis pemikiran yang sesuai. Pikiran diikat oleh hakikat dan struktur tertentu, kendati hingga kini belum seluruhnya terungkap. Pikiran kita tunduk kepada hukum-hukum tertentu.

Memang sebagai perlengkapan ontologisme, pikiran kita dapat bekerja secara spontan, alami, dan dapat menyelesaikan fungsinya dengan baik., terlebih dalam hal yang biasa, sederhana, dan jelas. Namun, tidak demikianlah halnya apabila menghadapi bahan yang sulit, berliku-liku dan apabila harus mengadakan pemikiran yang panjang dan sulit sebelum mencapai lesimpulan. Dalm situasi seperti ini dibutuhkan adanya pemikiran secara formal, pengertian yang sadar akan hukum-hukum pikiran beserta mekanismenya secara eksplisit. Maksudya, hukum-hukum pikiran beserta mekanisme dapat digunakan secara sadar dalam mengontrol perjalanan pikiran yang sulit dan panjang itu


B. Aturan-Aturan Berpikir

Dalam berpikir kita tidak terlepas dari hal yang bernama kondisi. Adapun kondisi tersebut merupakan hal-hal yang harus ada agar segala sesuatu dapat terwuju dan terlaksana. Untuk berpikir benar, logis-dialektis, juga dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu.4


1. Mencintai kebenaran

Merupakan sikap yang mendasar untuk berpikir yang baik, sebab sikap ini senantiasa menggerakan si pemikir untuk mencari, mengusut, meningkatkan mutu penalaranya, menggerakan si pemikir untuk senatiasa mewaspadai “ruh-ruh” atau dalam artian bisikan-bisikan yang akan menyelewengkanya dari kebenaran. Cinta terhadap kebenaran terwujud pada kerajinan yaitu jauh dari kemalasan, ceroboh dan jauh dari takut akan kesulitan. Dan terwuju dalam kejjujuran, selalu sipa meneriam kebenaran meskipun berlawanan dengan prasangaka dan keinginan atau kecenderunga pribadi atau golonganya. Hendaklah kita waspada pada kecenderungan manusiawiuntuk membenarakan terhadap apa-apa yang dianggapanya benar. Kewajiban mencari kebenaran adalah tuntutan intrinsik manusia untuk merealisasikan manusia menurut tuntunan keluhuran keinsananya.


2. Ketahuilah dengan sadar apa yang sedang Anda kerjakan

Kegiatan yang seang dijalankan adalah kgiatan berpikir. Seluruh aktifitas intelek adalah suatu usaha terus menerus mengejar kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya pengetahuan tentang kebenaran tetapi parsia sifatnya. Andaikata intelek kita intuitif, pada setiap langkah, kita dapat melihat kebenaran secara langsung tanpa terlebih dahulu memburunya melalui proses yang berbelit-belit dan banyak seluk beluknya. Pada taraf hidup kita di dunia ini, sifat intelek kita diskursif, dan hanya dalam beberapa hal agak sedikit intuitif. Karena untuk mencapai kebenaran, kita harus bergerak melalui berbagai macam langkah dan kegiatan. Penting bagi kita untuk mengetahui betul semuanya itu agar dapat melaksanakanya dengan tepat dan seksama.


3. Ketahuilah dengan sadar apa yang sedang Anda katakan.

Pikiran diungkapakan dalam kata-kata. Kecermatan pikiran terungkap dalm kecermatan kata-kata. Karenanya kecermatan ungkapan pikiran ke dalam kata merupakan sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Kita senatiasa perlu menguasai ungkapan pikiran kedalam kata-kata. Baik yang emplisit maupun yang eksplisit. Kita harus mengetahaui dengan betul dan seksama mengenai isi (komperehensif), lingkungan(ekstensi), arti fungsional(suposisi) dan istilah(term) yang digunakan, karena istilah merupakan unsur konstitutif dalam penalaran. Ketidaktertiban dalm istilah yang digunakan akan berakibat dalam ketertiban penalaran. Kita harus waspada pada:

a. term ekuivokal (bentuk sama tetapi berbeda arti)

b. term analogis (bentuk sama tetapi arti sebagian sama sebagian juga berbeda)

Ketahuilah pula perbedaan kecil arti (nuansa) dari hal-hal yang kita katakan. Identifikas dan lokalisasi arti tambahan(konotasi) suatu term. Senantiasa kejarlah univokalitas(kesamaan bentuk dan arti) dalam penggunaan term-term. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

a. ampliasi, pembesaran suposisi

b. restriksi, pengecilan suposisi

c. alienasi, perluasan suposisi

d. apelasi, pembatasan suposisi


4. Buatlah distingsi (pembedaan) dan pembagian (klasifikasi) yang wajar

Jika ada dua hal yang tidak mempunyai bentuk yang sama, hl itu jelas berbeda. Tetapi banyak kejadian dimana dua hal atau lebih mempunyai bentuk yang sama, namun tidak identik. Disinilah perlunya dibuat suatu pembeda. Kita harus menghindari konsep pukul rata dalam istilah. Begitu juga perlunya klasifikasi atau pembagian.dalm membuat pembagian, peganglah konsep pembagian yang sama, jangan sampai kita membagi begitu saja tanpa berpegang pada prinsip pembagian yang sama. Bahaya tumpang tindih akan selalu mengancam jika tidak dipakai prinsip pembagian yang sama resilo prinsip berikutnya adalah pikiran kacau balau. Jangan sampai kita mencampuradukan dan menggelapkan sesuatu.


5. Cintai definisi yang tepat

Penggunaa bahasa sebagai ungkapan sesuatu kemungkinan tidak ditangkap sebagaiamana yang akan diungkapakan atau sebagaiamana yang dimaksudkan. Karenya jangan segan membuat definisi, definisi harus diburu hingga terungkap. Definisi berarti pembatasan, yakni membuat jelas batas-batas sesuatu. Harus dihindari kalimat-kalimat dan uraian-uraian “gelap” dalm artian tidak jelas. Cintailah cara berpikir yang terang, jelas, dan jitu dalm membedakan, hingga jelas yang dimaksud sedangkan asosiasi hal-hal lai dikesampingkan.


6. Ketahuilah dengan sadar mengapa Anda menyimpulkan begini dan begitu

Adalah sangat penting kita mengetahui reason atau alasan kenapa kita menyimpulkan sesuatu hal tersebut. Kita harus dapat melihat asumsi-asumsi, implikasi-implikasi, dan konsekuensi dari suatu penuturan, pernyataan, atau kesimpulan yang kita buat. Tidak sedikit seseorang dapat “dipatahkan” karena ia tidak mengetahui dan memahami kenapa dia memiliki suatu kseimpulan secara gamblang.


7. Hindari kesalahan-kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, serta sangguplah mengenali jenis, macam, dan nama kesalahan, demikian juga mengenali sebab-sebab kesalahan pemkiran (penalaran).

Dalam belajar logika ilmiah (scientific) kita tidak hanya mau mengetahui hukum-hukum, prinsip-prinsip, bentuk-bentuk pikiran serta untuk tahu saja. Kita juga perlu:

a. Dalam praktik, menjadi cakap dan cekatan

b. Sanggup mengenali jenis-jenis, macam-macam, nama-nama, sebab-sebab kesalahan dan sanggup menghindarinya bahkan sanggup menyelesaikanya.


C. Kasus Dalam Kajian Logika

1. Filsafat Rasionalisme

Rasionalisme sangat bertentangan dengan empirisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sangat sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail, Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.

Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini.

Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).

Tokoh-tokohnya

1. Rene Descartes (1596 -1650)

2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)

3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)

4. G.W.Leibniz (1946-1716)

5. Christian Wolff (1679 -1754)

6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)


2. Mengkaji Fenomena Keseharian

Dari sedut pandang pemikiran filsafat Rasionalisme tersebut, sekiranya kita dapat mengambil contoh tentang logika di dalam agama. Ada sebuah ungkapan, terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah, yang arti harfiahnya “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”.

Tentu kita bertanya-tanya didalm hati

1)Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan?

2)Ataukah memang mutlak salah?

3)Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan?

4)Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah?

5)Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan?

6)Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini relatif?

Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan atau “angan-angan” yang mungkin (all possible intelligebles).

Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara kodrati dan spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.

Maka sebagai contoh ungkapan dari ‘Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah. Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus.

Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Dan sangat Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir.

Dilihat dari segi pandangan umum, Islam jelas menentang adanya relativisme kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof (pecinta kebijaksanaan) besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan.

Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, merealkan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya atau dengan kata lain mencapai hakikat.5

D. Komentar

Benar adanya bahwa, hidup kita tak terlepas dari proses berpikir. Bahkan ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa dengan berpikirlah kita ada. Kita sadari dan syukuri kita berpikir karena dikaruniakan oleh Rabb kita sebuah hal yang tak dapt kita lihat, tak dapat kita raba bahkan dirasa yaitu akal. Dengan akal kita belogika dan dengan hal yang tak tampak ini kita bisa lihat dinanisme hidup yang dijalani oleh manusia.

Dalam berlogikapun tidak terlepas dari hal-hal yang sistemati suntuk mendapatkan hasil yang munasib(cocok) antara kebenaran hukum dan realita. Terlebih pada hal-hal yang rumit yang membutuhkan proses yang matang. Sehingga perlu ada aturan-aturan dalm berpikir yang bermula dari mencintai kebenaran, karena memang hakikatnya manusia selalu menuntut kebenaran.

Dari artkel yang saya cantumkan pada sub bab C tentangkajian fenomena keseharian, yang saya kutip dari internet terutama pada kajian fenomena keseharian. Penulis menukil perkataan Imam Ibn Taimiyah yang secara textual tertulis bahwa barangsiapa yang menggunakan logikanya maka ia telah kafir. Penulis mengatakan bahwa dengan statement ini maka setiap orang yang berfikir benar telah kafir. Saya sangat tidak seuju dengan hal ini karena penulis artikel ini jika saya lihat hanya memahami perkataan seorang ulama besar tersebut secar kontextual saja. Padahal kita memahami bahwa memang ada hal-hal yang membatasi “petualangan ” logika kita ini. Contohnya dalam memahami atau untuk mengetahui zat Allah. Maka alangkah baiknya penulis juga berfikir bahwa Ibn taimiyah juga seorang pemikir yang tak bisa diremehkan. Bahkan beliau merupakan salah satu tokoh pembaharuan islam.

Namun, saya juga setuju pada pendapat penulis di akhir tulisanya yang menyatakan bahwa penerapan logika tidak menentang agama bahkan menjelaskan tentang agama itu sendiri sehinga sampai pada hakikat kebenaran. Benar, namun menurut saya hal ini berada pada dimensi mahluk. Bukan pada zat Allah seperti yang telah saya sampaikan diatas. Dengan logika kita dapat memahami eksistensi kita kepada Rabb kita. Dengan logika kita menjadi muzakir-muzakir alam walau tanpa mendengungkan tasbih tapi hati dan akal kita memancarkan sinaran tasbih kepada-Nya.

Kesimpulan

Logika merupakan pengkajian berpikir secara benar yang untuk ke arah itu memiliki beberapa aturan. Diantaranya adalah mencintai kebenaran, sadar dengan apa yang dilakukan dan yang dikatakan, dapat menjauhi kesalahan dan teliti pada definisi yang tepat dan hal-hal yang strategis guna mendapatkan kesimpulan yang munasib(cocok).

Saran

Kepada para mahasiswa yang menjadi sebuah icon pendidikan tinggi, hendaknya memiliki kerangka berpikir yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu aturan-aturan dalam berpikir seperti yang telah saya kemukakan hendaklah menjadi referensi dalam menjalankan identitas hidup ini, yaitu berpikir.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta. Rajawali Press.

Ludwig von Wittgenstein. 1972. Tractatus Logico Philosophicus. London. Routledge & Kegan Paul.

Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

William S. Sahakain dan Mabel Lewis Sahakain. 1965. Realism of philosophy. Cambridge Mass. Schenkman.

W. Posporojo. 1999. Logika Scientifika; Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung. Pustaka Grafika.

1William S. Sahakain dan Mabel Lewis Sahakain, Realism of philosophy (Cambridge, Mass.:Schenkman, 1965),hlm. 3.

2Ludwig von Wittgenstein, Tractatus Logico Philosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1972), hlm. 129.

3Taufiq Ismail, loc. cit.

4W. Posporojo, Logika Scientifika; Pengantar Dialektika dan Ilmu,(Bandung: Pustaka Grafika, 1999), hlm. 61.

5Dikutip dari artikel seorang mahasiswa di internet bernama Setyo Ernawati


APA SIH ITU THARIQOT?HUBUNGANYA DENGAN ZIKIR APA?

by. wahyu_ululalbab_fighter

Bagi orang yang hatinya sudah terpaut dengan yang dicintainya, maka apalah makna yang lainya. Hidup tiada akan indah tanpa yang dicintainya. Dalam keadaan berbaring, duduk, berdiri bahkan dalam kegelisahanya, yang ia harapkan hanyalah bersamasang kekasihnya. Begitupula yang dialami oleh hamba-hamba Allah SWT yang benar-benar mencintaiNya. Kegelisahanya, kerinduanya yang mendalam ia serahkan pada Allah SWT semata hatta ia tinggalkan dunia ini hanya untuk dekat dengan kemahaan Allah SWT. Maka banyak hamba-hambanya berjala ke arahNya dengan berbagai cara, sehingga dapat ditemukan ada yang berhasil namun tidak sedikit pula yang malah menjauh darinya karena tipu daya musuh abadi kita yaitu setan.

Tarekat merupakan salah satu cara yang diyakini para sufi untuk sampai pada tujuan mereka, yaitu ma'rifatullah. Dengan tarekat banyak orang yang terbimbing untuk menuju Allah SWT namun tidak sedikit pula yang malah tersesat. Karena apa? Karena kita ketahui bersama bahwa tidak semua tarikat itu merupakan turunan dari Rasulullah, adapun tarikat yang diketahui bersanad dari rasul atau para sahabatnya masih perlu diteliti lagi dari hadist-hadist dan perlu diperhatikan tingkat hadist-hadist tersebut., karena kebanyakan tarekat merupakan hasil daya pikir oleh mahluk Allah SWT yang begitu dha'if yaitu manusia.

Tarekat merupakan hal yang ada dalam bertassawuf oleh para sufi. Baik secara personal ataupun yang diorganisasikan bahkan yang diturunkan oleh para murid yang akhirnya menjadi sebuah organisasi tarekat. Dan adapun hubunganya dengan zikir merupakan ha yang identik dalam sebuah tarekat. Namun apakah setiap tarekat memiliki formulasi zikir yang sama? Apakah tergantung pada syaikhunanya atau pendiri tarekatnya.

Pengertian Tarekat

Tarekat berasal dari bahasa arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti:

1. jalan atau petunjuk jalan atau cara,

2. Metode, system (al-uslub),

3. mazhab, aliran, haluan (al-mazhab),

4. keadaan (al-halah),

5. tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).

Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah “metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat”. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.

Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.

Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naksibandiyah, Tarekat Rifa'iah, Tarekat Samaniyah dan lain-lain. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya saja.

Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.

  1. tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaq . Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan halal dan lain sebagainya.

  2. tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuawa yang dipelihara oleh Allah dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.

Hubungan antara tarekat dengan wirid dan zikir

Salah satu amalan tarekat adalah wirid/zikir yang dibaca secara teratur dengan disiplin tertentu. Wirid ini diberikan/didiktekan oleh Rasulullah kepada pendiri tarekat tersebut melalui yaqazoh (pertemuan secara sadar/jaga). Fungsi wirid ini adalah sebagai penguat amalan batin pada para pengamal tarekat tersebut. Zikir adlah salah satu hal yang urgen dalam gerakan tarekat. Cara berzikir penganut tarekat meskipun memiliki tujuan yang sama., tapi dalam prakteknya, lafadz-lafadznya atau urutan-urutanya sering sekali berbeda. Maka perbedaan cara zikir inilah yang kemudian menjadi indikator utama perbedaan aliaran dalam tarekat. Perbedaan ini disebabkan rumusan-rumusan dan temuan mengenai formula zikir yang disusun masing-masing pendiri tarekat. Tapi apapun bentuk dan aliranya tujuan semua tarekat adalah untuk ma'rifatullah.1

Dalm hal ini sangat ditekankan posisi guru atau mursyid sebagai pembimbing dalam sebuah tarekat. Muryid sebagai seorang guide yang jika kita analogikan sebagai seorang yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika seorang murid dibimbingnya tidak akan tersesat. Karena jika berjalan atau berzikir sendiri tanpa rhabitoh pada guru, mungkin tidak akan sampai karena tidak tahu jalanya terlebih dapat tersesat. Adapun rhobitoh tadi merupakan wujud dari fungsi mursyid yang bukan hanya sebagai pembibing secara lahiriah. Tapi, juga secara batiniah sebagai mediasi murid dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.

Macam-Macam Tarekat dan Sejarahnya

Sebenarnya perkembangan tarekat berbanding lurus dengan berkembangnya tassawuf karena mengingat bahwa tarekat merupakan salah satu bagian dalam bertasawwuf. Hal ini dapat kita ketahui dari asal mula tarekat itu sendiri dan dari pendirinya yang nantinya akan kita ketahui bahwa mereka adalah juga para sufi. Tarekat berkembang pesat sehingga sangat besar jumlahnya, yang cukup terkenal di antara banyak tarekat yang pernah muncul sejak abad ke-12 M (6 H). adapun tarekat-tarekat tersebut adalah :

1. Qodiriah, yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qodir Al Jaelani (470-561H). yang mempunyai pengaruh di Irak, Turki, Turkistan, Sudan, Cina, India dan Indonesia.

2. Rifa'iyah, yang dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad bin Ali Abdul Abbas al-Rifai (wafat 578 H) mempunyai pengaruh di Mesir dan di Irak.

3. Suhrawardiyah, yang diniisbatkan kepada abu al-Najib al-Suhrwardi (490-563 H) dan anak saudaranya Syihabuddin Abu Hafs Umar bin Abdullah al-Suhrawardi (539-632 H)

4. Syaziliyah, yang dihubungkan dengan Abu al-Hasan Ahmad al-Syazili (wafat 686 H), yang pernah bepengaruh di Afrika Utara, Syiria dan negeri Arab lainya.

5. Naqsyabandiyah, yang dihubungkan dengan Muhammad bin Muhammad Bahaudinal- Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717-791 H). Memiliki pengikut di Asia Tengah, Turki, India, Cina dan Indonesia.

6. Maulawiyah, yang dihubungkan dengan Syaikh Maulana Jalaluddin Rumi (wafat di Turki 672 H/1273 M) yang berpengaruh pada masyarakat Turki.

7. Syattariyah, dihubungkan kepada Syaikh Abdullah al-Syattiri (wafat di India 663 H/1236 M) yang memiliki pengikut di Indonesia dan India tentunya.2

ada pula sebuah referensi yang yang menyebutkan bahwa ada 170 nama-nama tarekat baik yang pokok atau cabang yang tersebar diseluruh dunia. Namun beberapa diantaraya sudah dianggap sesat atau zindiqiah(menghancurkan islam dari dalam).3Sebagian ulama berpendapat bahwa jumlah tarekat itu sangat banyak dan tak dapat dihitung dan jumlahnya sejumlah bintang di langit.4

Tarekat merupakan suatu jalan bagi seorang sufi untuk menuju Allah SWT, dan kebanyakan merupakan buah dari pemikiran manusia, dan oleh karena itu terdapat banya jenis tarekat yang dikembangakan oleh berbeda ulama. Biasanya tarekat yang dikembangkan merupakan cabangan dari tarekat besar yang diformulasikan oleh ulama-ulama besar zaman dahulu dan pada saat ini ada yang masih dan ada yang telah punah.

Sebaiknya dalam menjalani ma'rifatulla hal yang tidak perlu kita lupakan adalah tarekat dari Allah (tarekat wajib) itu sendiri. Jika kita analogikan kita akan bertamu kerumah seseorang, maka tentulah yang tahu secara pasti adalah orang si pemilik rumah itu. Tugas kita hanya mengikuti apa yang telah orang itu tunjuk atau arahkan, sedangkan jika kita mempersiapkan diri untuk bertemu dengan orang itu dengan membawa buah tangan, tentulah si pemilik rumah itu akan sangat senang. Dan ikutilah tarekat yang diajarkan rasulullah untuk mempersiapkan oleh-oleh kepada Allah bukti kita bermanfaat hidup di dunia ini, yaitu tarekat dakwah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hifni, Abdul Mun'im. 1992. al Mausu'ah al-Shufiyah. Mesir. Dar al-Rasyad.

Baraja, Abbas Arfan. Al-Hujjah al-Shati'ah fi Bayan al-Thoriqoh al-Naqsyabandiyah al- Haqqonyiyah.

Malang. (kalangan sendiri).

Simuh. 1996. Tassawuf dan Perkembanganya dalam Islam. Jakarta. Rajawali Press.

1 H. Abbas Arfan Baraja,Lc.,M.H., “Al-Hujjah al-Shati'ah fi Bayan al-Thoriqoh al-Naqsyabandiyah al- Haqqonyiyah”, (Malang: kalangan sendiri), hlm. 22.

2Ibid, hlm. 6-7.

3Abdul. Mun'im al-Hifni, “al Mausu'ah al-Shufiyah”, (Mesir. Dar al-Rasyad, cet. 1; 1992), hlm.264-270.

4Simuh, “Tasawuf dan Perkembanganya dalam Islam , (Jakarta: Rajawali Press, cet. I, 1996), hlm. 40-41.