GUDANGQ

AL ILM QOBLA QOUL WAL 'AML

Sabtu, 17 Januari 2009

ULUL ALBAB, tadsir klasik, modern dan perspektif modernnya

Latar Belakang

Maha Suci dan Maha Bijak Allah yang telah memeberikan manusia berbagai macam potensi yang yang menjadi furqon atau pembeda dari mahluk-mahluk yang lainya. Allah memberikan potensi ruhiyah yang dimanfestasikan dengan dzikrullah, fikriyah dengan manifestasi fikiran serta jasadiyah yang hendaknya dimanifestasikan dengan amal sholeh.

Apalah jadinya manusia dikala tidak ada tawazun atau keseimbanagan antara potensi-potensi yang sangat luar biasa ini. Dikala aspek materi manusia yang lebih ditonjolkan maka manusia tiada bedanya dengan hewan dan berlakulah hukum rimba, dikala aspek materi dan akalpun terpenuhi namun aspek fitroh diabaikan maka dunia ini tiada bedanya sebagai neraka karena amanah-amanah manusia yang diberikan Allah SWT, tidak terlaksana diantaranya adalah beribadah, sebagai kholifah atau penanggung jawab kehidupan di dunia, dan sebagai da'i yang beramarma'ruf nahi munkar.

Oleh karena itu Allah dengan wahyu-Nya yang suci nan mulia mempresentasikan model manusia yang dapat menjalani hal itu sebagaimana yang dijalankan oleh qudwah kita Muhammad Rasulullah saw. Model itu adalah model sebagai rausyan fikr yaitu Ulul Albab, model yang seringkali muncul di ayat-ayat al qur'an, model yang digambarkan sebagai insan yang tidak hanya bergelut pada satu dimensi saja. Namun sebuah model manusia yang syumul paradigmanya akan dirinya dan tuhanya, dirinya dan rasulnya, dirinya dan agamanya, dirinya dan umat, dirinya dan masyarakat, dirinya dan keluarga, dan dirinya dengan dirinya.

Banyak tafsir yang menjelaskan tentang aplikasi model Ulul Albab tersebut, dan kali ini saya akan menjelaskan dua model penafsiran tentang konsep Ulul Albab ini. Yang diharapkan nantinya dengan pembahasan masalah ini konsep ini benar-benar menjadi main project yang tidak main-main, karena perbaikan umat juga bukan permaianan tapi sebuah kesungguhan bermujahadah dari personal sampai pada tataran jamaah.

Ayat-Ayat Ulul Albab

Orang yang mengambil pelajaran dari hukum Allah/Qishas (Al Baqarah: 179).

Orang-orang yang diberi hikmah dan sanggup mengambil pelajaran dari Allah SWT (Al Baqarah: 269).

Bersungguh-sungguh mencari ilmu (Ali 'Imran: 7).

Merenungi ciptaan Allah, baik yang berada di langit maupun di bumi (Ali 'Imran: 190, Az Zumar:: 21).

Banyak Berdzkir,Dzikir lisan, hati dan pikiran serta perbuatan (Ali 'Imran 190).

Kritis mendengarkan pembicaraan, ungkapa atau pikiran orang lain (Az Zumar: 18).

Mengambil pelajaran dari kitab-kitab yang diwahyukan Allah (Ali 'Imran: 7, Al Mukmin: 54).

Sanggup mempertahankan keyakinan (Al Maidah: 100).

Berusaha menyampaikna peringatan Allah kepada masyarakat tentang tauhid (Ibrahim: 52).

Memenuhi janji Allah (Ar Rad: 19-20).

Bangun di tengah malam (Az Zumar: 9).


Tafsir Klasik Dan Kontemporer

Ayat yang akan dibahas pada pembahasan tafsir kali ini, hanya sebagian dari ayat-ayat yang memiliki makna tersendiri tentang Ulul Albab pada bagian ayat-ayat Ulul Albab. Adapaun ayat-ayat tersebut adalah surah Ali Imran ayat 190-191 yang menyatakan hal-hal yang menjadi bahan pelajaran bagi Ulul Albab dan pelajaran yang diiringi dzikir itu dilakukan dalam setiap keadaan.

Terdapat dua kitab tafsir yang akan kita angkat dalam pembahasan ayat ini, pertama kitab tafsir Ibnu Katsir yang juga merupakan tasir klasik dan tafsir Fi Zhilalil Qur'an karya Sayyid Quthb yang merupakan tafsir kontemporer yang monumental pada abad ke-20.

  1. Tafsir Ibnu Katsir

Allah menyifati Ulul Albab, Dia Berfirman : " Yaitu orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri, duduk, dan berbaring." Dalam Shahihaian (Bukhari-Muslim) ditegaskan dari Imran bin Hishin bahwa Rasululllah SAW. Bersabda, "dirikanlah shalat sambil berdiri, jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, jika kamu tidak mampu, maka sambilberbaring." Artinya, mereka tidak henti-hentinya berdzikir dalam setiap kondisi apapun, baik dengan hati maupun lisanya. "Dan mereka merenungksn prnciptaan langit dan bumi."Yakni, mereka memahami ketetapan-ketetapan yang menunjukan kepada kebesaran Al-Khaliq, pengetahuan, hikmah, pilihan, dan rahmat-Nya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata, "dua rakaat sholat yang dilakukan dengan khusyu adalah lebih baik daripada sholat sepanjang malam namun hati lalai." Apabila Ibnu Umar endak memperbaiki hatinya, maka dia mendatangi banguna lapuk, kemudian berdiri di pintunya, lalu berseru dengan suara miris-sedih, ”di manakah diriku akan kubinasakan?".

Kemudian Ibnu Umar kembali merenungkan dirinya. Lalu berkata, "segala perkara akan binasa kecuali Allah" Al hasan meriwayatkan dari Amir bin Abdul Qais, dia berkata, "saya mendengar bukan hanya dari satu, dua dan tiga orang sahabat nabi saw. Yang mengatakan bahwa cahaya atau pelita keimanan ialah tafakur."

Allah ta'ala mencela bagi siap saja yang tidak mau mengambil pelajaran dari mahluk-mahluk-Nya yang menunjukan kepada sifat, zat, syariat, takdir dan tanda-tanda kebesarab-Nya.

Ditegaskan bahwa Rasulullah saw. membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran, tatkala beliau bangun malam untuk tahajjud. Al-Bukhary rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, "aku tengah berada di rumah bibiku, yaitu Maimunah. Rasulullah saw. berbincang sejenak dengan istrinya, kemudian tidur. Ketika tiba sepertiga malam terakhir, maka beliau bangun kemudian duduk. Sambil memandang langit, beliau berkata, "sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan bagi-bai orang-orang yang beakal." Kemudian beliau bangkit , lalu berwudhu dan bersiwak. Kemudian beliau shalat 11 rakaat shingga Bilal mengumandangkan adzan. Maka beliau sholat dua rakaat. Beliau keluar dari rumah dan sholat shubuh berjamaah bersama manusia."1

  1. Tafsir Fil Zhilalil Sayyid Quthb

Konteks Al Qur'an disini menggambarkan secara cermat tahap-tahap gerakan jiwa yang ditumbuhkan oleh tatapan terhadap pemandangan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang di dalam perasaan ulul albab. Dan pada saat yang sama merupakan penggambaran yang sangat inpiratif, yang mengalihkan hati kepada metode yang benar dalam berinteraksi dengan alam, dalam 'berbicara' kepadanya dengan bahasanya, dalam penyesuaian dengan fitrah dan hakikatnya, dan dalam menagkap isyarat-isyaratnya. Konteks ini juga menjadikan alam yang terbuka ini sebagai kitab 'pengetahuan' bagi manusia mu'min yang bersambung dengan Allah dan dengan apa-apa yang diciptakan Allah

Menggabungkan antara perenungan tentang mahluk ciptaan Allah dan ibadah kepadanya dengan perenungan tentang penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, sehingga perenungan ini bernilai ibadah dan menjadikanya sebagai bagian dari manifestasi dzikir. Penggabungan antar kedua gerakan ini mengisyaratkan dua hakikat penting :

Pertama, bahwa perenungan tentang ciptaan Allah, tadabbur tentang kitab alam terbuka, pencermatan terhadap tangan Allah yang Maha Mencipta, ketika menggerakan alam ini membuka lembaran-lembaran kitab ini adalah merupakan ibadah yang sejati kepad Allah dan dzikir yang utama kepada-Nya. Sekiranya ilmu-ilmu kauniyah yang mempelajari penciptaan alam, hukum-hukum dan undang-undangnya, berbagai potensi dan kekayaanya, berbagai rahasia dan perbendaharaanya sekiranya ilmu-ilmu ini dipadu dengan mengingat Pencipta alam ini. Niscaya dengan ilmu-ilmu ini kehidupan akan tegak dan mengarah kepada Allah SWT. Tetapi orientasi matrealistik kafir telah memutus hubungan antara ilmu-ilmu kauniyah dan hakikat azali nan abadi. Oleh sebab itu, ilmu yang pada hakikatnya merupakan karunia Allah paling indah kepada manusia berubah menjadi laknat yang mengusir manusia dan mengubah kehidupan menjadi neraka jahim, menjadi kehidupan yang galau dan terancam, menjadi kekosongan spiritual yang memburu manusia seperti setan tiranik!

Kedua, bahwa ayat-ayat Allah di alam ini tidak akan terlihat secara jelas sesuai hakikatnya yang sarat inspirasi, kecuali oleh hati yang senantiasa berdzikir dan beribadah. Dan, bahwa orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring itu saat merenung, adalah orang-orang yang mata hati mereka terbuka untuk melihat berbagai hakikat yang besar yang terjandung dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam. Mereka adalah orang-orang yang melalui hal tersebut terhubungkan dengan Manhaj Illahi yang membawa kepada keselamatan, kebaikan dan kesholihan. Sedangkan orang-orang yang merasa cukup dengan lahiriah kehidupan dunia dan sampai kepada rahasia sebagian kekuatan alam tanpa terhubung dengan Manhaj Ilahi maka mereka adalah orang-orang yang mengahancurkan kehidupan dan diri mereka sendiri dengan rahasia-rahasia yang telah mereka capai itu, dan mengubah kehidupan mereka menjadi neraka jahim dan kecemasan yang mencekik. Akhirnya mereka mendapatkan murka dan siksa-Nya!2

  1. Perspektif Modern

Dalam kajian masalah Ulul Albab, agak susah rasanya mengambil perspektif sampel dari sebuah sains ataupun teknologi, karena hal ini lebih terkait dengan masalah pengkaderan atau pendidikan. Sebelum itu kita mengambil sampel perbandingan manusia, yaitu Albert Einstein. Bagaimana dia maksimal dalam penggunaan akalnya, namun dia menemukan jalan buntu dalam kecerdasanya. Tidak ada tempat bertumpu atas segala keluar biasaan khazanah Allah di muka bumi. Berbeda degan Harun Yahya seorang ilmuan yang juga sekaligus seorang sufi modern, dimana dia selalu menemukan tha final dari semua tanda-tanda luar biasa dara khazanah yang Allah berikan.

Oleh karena itu saya mengambil contoh perspektif modern yaitu sebuah perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang mencoba menerapakn metode Ulul Albab sebagai model manusia yang akan dibentuk dan menjadi 'trade mark' untuk peradaban islam kedepanya. Ialah UIN (Universitas Islam Negeri) Malang, sebuah kampus yang berharap lulusanya memiliki potensi-potensi dasar yang dapat dilejitkan dengan konsep tawazun. Selaras dengan kedua model penafsiran dia atas, kampus ini tidak hanya ingin membenuk karakter mahasiswa yang taat dalam agamanaya baik itu aspek dia dan tuhanya, dia dan agamanya, dia dan negaranya, dia dan masyarakatnya, keluarganya dan dirinya sendiri. Tetapi juga peofesional dalam ranah-ranah yang membutuhkan keprofesionalitasan baik itu sains maupun teknologi.

Alangkah dahsyatnya jika konsep ini benar-benar dijalankan dengan ketulusan hati perangkat-perangkat yang ada di dalamnya. Karena untuk membentuk karakter Ulul Albab tersebut segala komponen yang bersifat materi telah ada walaupun terbatas, sperti masjid, ma'had dan kampus itu sendiri dengan segala perangkatnya seperti perpuastakaan, labortorium dan lain-lain. Sebagaimana yang pernah diungkapakan Muhammad Natsir tentang penyatuan tiga komponen, yaitu masjid sebagai lambang spiritual dan persatuan, kampus sebagai lambang intelektual dan ma'had sebagai wadah pengkaderan yang bersifat kekeluargaan.

Sehingga dengan hal itu, maka problematika umat ini akan terjawab dan terselesaiakan karena terbentuk pemudda-pemuda yang robbani, yang tidak dapat melepaskan setiap aspek kehidupanya dengan nilai-nilai islam. Nilai-nilai yang telah sempurna yang disempurnakan oleh yang Maha Sempurna Allah Swt. Para generasi yang tidak hanya terpaku pada simbol-simbol tapi pada wilayah aksi nyata dan manfaat. Generasi penerus yang hatinya diliputi kebesaran Allah karena berpedoman kepada kitab kauliyah dan kauniyah-Nya yang berhimpun banyak hikmah, hkmah yang dapat dijelaskan dengan kata-kata sampai pada hikmah yang tak dapat diterjemahkan dengan kata-kata yaitu berupa hidayah.

I nilah model masa depan, model modern yang dinanti-nantikan, tidak hanya umat islam itu sendiri, tetapi seluruh umat di dunia karena dengan modedl ini, visi islam sebagai Rahmatan Lil 'Alamin dapat terealisasi. Inilah model yang perlu mendapat perhatian khusus, yang menembus batas-batas nilai materi semata. Model ini membutuhkan pejuang sejati yang pemahamanya syumul (menyeluruh) tidak timbal sulam.




Kesimpulan

Dari kedua penafsiran yaitu antara tafsir Ibnu Katsir dan Fll Zhilallil Syyid Quthb, dapat kita lihat bahwa, penafsiran Ibnu Katsir selain dari bentuk dzikir itu sendiri, pembahasan lebih condong kepada nilai-nilai ibadah khususnya pada sholat dalam menafsirkan berdzikir dalam keadaam berdiri, duduk dan berbaring dan gaya penafsiranya lebih merujuk pada riwayat-riwayat tentang Rasulullah saw yang berkenaan dengan ayat tersebut serta cerita-cerita para sahabat, karena metode yang beliau terpakan adalah penafsiran al qur'an dengan al qur'an dengan hadits, ulama salaf, para tabi'in dan konsep-konsep bahasa arab. Sedangkan penafsiran Sayyid Quthb selain bekenaan dengan dzikir itu sendiri, pembahasan dirangkai dengan bahasa-bahasa yang mengguggah dan bermakna dalam dan pemahaman yang disampaiakan adalah kepada ibadah dalam bentuk apa saja baik itu berkenaan dengan hubungan dengan Allah melalui ibadah mahdoh ataupun ibadah yang dilakukan dengan berinteraksi dengan mahluk-mahluk ciptaan Allah yang lain. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan waktu dan biografi serta perjalanan sejarah yang berbeda. Sayyid Quthb memiliki kecondongan akan kerisauan dalam jihad melawan paham-paham imperialisme kafir yang mengubah tatanan masyarakat islam yang waktu itu terjadi di mesir, dan tafsir-tafsir yang beliau tulispun dalam keadaan yang sulit yaitu di dalam penjara, penjara tirani dari kekuasaan otoriter tirani Abdul Naseer. Sedangkan Ibnu Katsir merupakan ulama dan imam yang terhormat sekitar abab 6-7 Hujriyah, yang berasal dari Damsyik yang selama perjalan hidupnya beliau dikenal sebagai seorang cedikiawan. Dan dari pemahaman model ini diharapkan tidak hanya terbentuk kepuasasan di alam wacana, tetapi bentuk manusia robbani ini dapat menjadi bergaianing dalam peradaban Islam.


DAFTAR RUJUKAN

Ar Rifa'i, M. Nasib.1999. Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta. Gema Insani Press.

Suprayogo, Imam. 2007. Tarbiyah Ulul Albab : Dzikir, Fikir dan Amal Shaleh. Malang. UIN Malang Press

Quthb, Sayyid. 2001. Tafsir Fi Zhilalil Qur'an. Jakarta. Robbani Press.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda