GUDANGQ

AL ILM QOBLA QOUL WAL 'AML

Kamis, 19 Februari 2009

Negara Madani dan Konsep Negara Kekinian

Tidak dinyatakannya istilah daulah di dalam teks al-Qur’an maupun al-Hadits bukan berarti tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam. Sama halnya dengan reformasi yang kini kencang bergulir, bukankah istilah "reformasi" tidak kita jumpai dalam UUD 1945 dan Pancasila? Demikian pula dengan istilah demokrasi, restrukturisasi, masyarakat madani, dan lain-lain istilah yang belum populer pada saat negara ini berdiri. Lantas apakah kita dengan mudah mengatakan bahwa reformasi, demokratisasi, dan pembentukan masyarakat madani adalah proses yang inkonstitusional?

Jika kita perhatikan teks al-Qur’an maupun al-Hadits secara teliti, mendalam, dan dengan pemikiran yang cemerlang (al-fikr al-mustanir), kita akan mendapatkan indikasi-indikasi yang jelas tentang kewajiban mendirikan negara Islam. Allah swt berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari kamu sekalian" (QS an-Nisaa: 59)

Ulil amri di sini berarti pemimpin yang berstatus penguasa, bukan sekedar pemimpin rumah tangga atau pemimpin kelompok. Dalam tinjauan bahasa Arab, jika istilah ulil amri itu disisipi idiom min (dari/bagian) menjadi ulil minal amri, maka artinya akan terspesifikasi menjadi pemimpin-pemimpin dalam lingkup yang sempit (keluarga, organisasi, pengadilan, dll). 

Sedangkan kewajiban pemimpin tersebut untuk hanya menerapkan syariat Islam saja, tidak syariat yang lain, ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah yang berasal dari Ubadah bin ash-Shamit:

"Kami membaiat Rasulullah saw untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal yang tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): ‘Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah’."

Menurut Imam al-Khathabi arti bawaahan dalam hadits di atas adalah nampak secara nyata atau terang-terangan. Demikian pula dengan riwayat lain yang menggunakan istilah baraahan 1 . Imam Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-kufr dalam hadits tersebut adalah kemaksiatan2 .

Allah swt berfirman:

"Apakah hukum Jahilliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yanglebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin" (QS al-Maidah: 50)

Abdul Qadim Zallum mengomentari ayat di atas: "Hukum Jahilliyah adalah hukum yang tidak dibawa oleh Rasulullah saw dari Tuhannya. Hukum Jahilliyah adalah hukum kufur yang dibuat oleh manusia".3 

Pada ayat yang lain Allah swt berfirman:

"Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang telah diturunkan Allah. Dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu" (QS al-Maidah: 48)

Perintah untuk memutuskan semua perkara (termasuk urusan kenegaraan) menurut syariat Islam ini tidak hanya ditujukan kepada Rasulullah saw, tetapi juga ditujukan kepada seluruh umatnya karena tidak ada ayat lain dalam al-Qur’an maupun al-Hadits yang mentakhsis (mengkhususkan) perintah tersebut hanya untuk Nabi saw.

Dengan demikian jelaslah bahwa Islam menggariskan kewajiban untuk menegakkan kekuasaan yang berlandaskan syariat Islam.

Dalam literatur-literatur klasik memang tidak akan kita jumpai tentang cara bagaimana mendirikan suatu negara Islam. Kitab-kitab tersebut disusun ketika Kekhalifahan Islam masih berdiri dan dalam keadaan jaya sehingga tidak terlintas sedikitpun di benak para penulisnya bahwa suatu saat kekhalifahan itu akan runtuh dan diperlukan upaya untuk mendirikannya kembali. Literatur-literatur klasik seperti Ma’afiru al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah karya Imam al-Qasysyandi, al-Ahkaamush Shulthaniyah karya Imam Mawardi, al-Ahkaamush Shulthaniyah karya Abu Ya’la al-Faraa, dan al-Kharaj karya al-Qadli Abu Yusuf, banyak berbicara tentang praktek kenegaraan Khilafah Islamiyah dan bukan cara mendirikannya. Tetapi yang jelas, literatur-literatur tersebut menyajikan fakta tentang keberadaan suatu negara Islam.

Negara Islam pertama

Perdebatan seputar pertanyaan: apakah "Negara Madinah" itu benar-benar suatu negara definitif atau sekedar institusi kemasyarakatan biasa, lebih dilandasi pada ketidakjelasan fakta-fakta seputar apa yang terjadi di Madinah dan di seluruh wilayah kekuasaan Islam pada saat itu. 

Ada beberapa definisi tentang negara. Menurut Roger Soltau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persolan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Definisi menurut Max Weber dan Robert MacIver hampir senada dengan Harold Laski. 

Negara jauh lebih kompleks dibanding masyarakat. Harold J. Laski mendefinisikan masyarakat sebagai "sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan bersama". Berdasarkan definisi tersebut, negara adalah metamorfosis lanjutan dari suatu bentuk masyarakat yang membutuhkan instrumen hukum yang bersifat memaksa sehingga keinginan-keinginan bersama tersebut tidak saling berbenturan satu sama lain. Dalam konsep Kontrak Sosial (Contract du Social), penguasa "dikontrak" oleh rakyat untuk menjaga dan mengatur kepentingan-kepentingan mereka.

Dalam kitab al-Fikr al-Islami, Dr. Muhammad Ismail mengajukan 3 (tiga) kriteria yang harus dipenuhi agar suatu komunitas dapat disebut sebagai masyarakat yang utuh, yaitu adanya pemikiran yang sama (afkar), perasaan yang sama (masya’ir), dan hukum yang diterapkan di tengah komunitas tersebut (nizham). Jika salahsatu kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka komunitas tersebut tidak layak disebut sebagai masyarakat walaupun jumlahnya ratusan ribu; seperti penonton sepakbola di stadion yang memiliki keinginan yang sama (ingin menonton bola) tetapi tidak diikat oleh hukum yang sama sehingga masing-masing dapat berbuat sekehendak hatinya.

Berikut ini adalah beberapa fakta yang membuktikan bahwa yang dibentuk oleh Rasulullah saw di Madinah adalah sebuah negara:

1. Rasulullah saw menerima bai’at sebagai Kepala Negara, bukan sebagai Nabi.

Pengakuan seorang muslim kepada kenabian Muhammad saw adalah dengan ucapan dua kalimat syahadat, bukan dengan bai’at. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra yang berkata:

"Kami dahulu, ketika membai’at Rasulullah saw untuk mendengar dan menaati perintah beliau, beliau selalu mengatakan kepada kami: Fi Mastatha’ta’ (sesuai dengan kemampuanmu)"

Bai’at ini adalah pernyataan ketaatan kepada seorang Kepala Negara, bukan sebagai seorang muslim kepada Nabinya. Indikasinya adalah penolakan Rasulullah saw terhadap bai’at seorang anak kecil yang belum baligh, yaitu Abdullah bin Hisyam. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Uqail Zahrah bin Ma’bad bahwa kakeknya, Abdullah bin Hisyam, pernah dibawa pergi oleh ibunya, yaitu Zainab binti Humaid, menghadap Rasulullah saw. Ibunya berkata: "Wahai Rasulullah, terimalah bai’atnya." Kemudian Nabi saw menjawab: "Dia masih kecil." Beliau kemudian mengusap-usap kepala anak kecil itu dan mendoakannya.

Jika bai’at itu berfungsi sebagai pengakuan atas kenabian Muhammad saw, beliau tidak mungkin menolaknya walaupun datang dari seorang anak kecil yang belum baligh karena syariat Islam menggariskan bahwa seorang anak telah terkena kewajiban agama yaitu membayar zakat yang ditanggung oleh orangtuanya.

Dengan demikian jelaslah bahwa Rasulullah saw memegang jabatan Kepala Negara selain kedudukannya sebagai Nabi.

2. Rasulullah saw sebagai Kepala Negara mengirim surat kepada penguasa negara-negara besar untuk tunduk di bawah kekuasaan Islam.

Tidak mungkin suatu masyarakat biasa memiliki strategi politik untuk meluaskan pengaruhnya ke wilayah-wilayah sekitar, yang hanya dapat dilakukan oleh suatu negara yang memiliki serta mengemban kepentingan eksternal yang dirumuskan dalam strategi politik luar negerinya.

Isi surat Rasulullah saw tersebut adalah:

"Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim. Dari Muhammad bin Abdullah dan Rasul Allah, kepada Heraklius pemimpin Romawi. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada siapapun yang mengikuti petunjuk. Masuklah Islam, niscaya Anda akan selamat. Masuklah Islam, niscaya Allah akan melimpahkan pahala kepada Anda dua kali lipat. Namun jika Anda berpaling maka Anda akan menanggung dosa rakyat Irisiyin." (HR Bukhari dalam Shahih Bukhari, juga al-Bidayah IV/226)

Surat senada juga disampaikan kepada Kisra (Raja Persia), Muqauqis (Raja Mesir), Najasyi (Raja Ethiopia), al-Harith al-Ghassani (Raja Hirah), dan al-Harith al-Himyari (Raja Yaman).

Seruan ini bukan sekedar seruan moral untuk memeluk Islam, tetapi juga seruan politik untuk menggabungkan wilayahnya di bawah kekuasan Islam walaupun dengan jalan perang. Rasulullah saw pernah berkirim surat kepada Uskup Najran yang isinya:

"Atas nama Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan Yakub, dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah, kepada Uskup Najran. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada kalian. Aku mengajak kalian untuk memuji Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan Yakub. Amma ba’d.

Aku mengajak kalian untuk menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan kepada hamba. Aku mengajak kalian kepada kekuasan Allah dan meninggalkan kekuasaan hamba. Jika kalian menolak ajakanku ini, maka hendaklah kalian menyerahkan jizyah. Jika kalian menolak untuk menyerahkan jizyah, berarti kalian telah memperkenankan peperangan. Wassalam." (Tafsir Ibnu Katsir I/139, al-Bidayah V/55)

Jizyah adalah hak yang diberikan Allah swt kepada kaum muslimin dari orang-orang non-muslim karena adanya ketundukan mereka kepada pemerintahan Islam4 . 

3. Adanya hukum yang bersifat mengikat dan memaksa.

Syariat Islam adalah hukum, bukan sekedar norma. Tindakan kriminal (jarimah) mendapat sanksi definitif yang dijatuhkan oleh negara walaupun dimensi transendental dalam Islam mengaitkan penjatuhan sanksi tersebut dengan alam akhirat.

Masyarakat awam sering membayangkan komunitas Madinah seperti masyarakat tingkat kelurahan atau RT yang dalam proses penjatuhan sanksi sosial kepada anggota masyarakat yang melakukan kejahatan ditentukan melalui musyawarah. Yang sering dijadikan dalil adalah ayat al-Qur’an surat an-Nisaa: 159 dan asy-Syura: 38 yang memerintahkan Nabi untuk bermusyawarah mengenai suatu urusan.

Pengambilan dalil secara sepotong demi sepotong memang mengasyikkan karena hukum agama dapat dibelok-belokkan sesuai keinginan kita. Tetapi harus diingat bahwa satu ayat tidak dapat terlepas dari ayat lain maupun teks-teks al-Hadits. Ini berkaitan dengan nasakh-mansukh, takhsis, tabdil, taqyid, dan lain-lain (dapat kita diskusikan lebih lanjut dengan topik "Kodifikasi Hukum Islam").

Rasulullah saw bermusyawarah dengan para Sahabat maupun dengan penduduk Madinah hanya untuk masalah-masalah yang bersifat mubah/boleh dan tidak menyangkut wahyu. Misalnya ketika Perang Uhud, beliau mengikuti pendapat mayoritas penduduk Madinah yang memilih menyambut musuh di luar kota padahal Rasulullah dan sahabat-sahabat besar memilih menyambut dari dalam benteng.

Untuk hal-hal yang menyangkut wahyu dan ketetapan hukum, Rasulullah saw tidak meminta pendapat siapapun selain mengikuti wahyu yang diturunkan kepada beliau.

"Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku" (QS Yunus: 15)

"(Dan) tidaklah ia mengucapkan sesuatu berasal dari hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan" (QS an-Najm: 3-4)

Dalam kasus Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw mengabaikan pendapat para Sahabat yang mengajukan protes terhadap kesediaan beliau menerima konsep perjanjian yang disodorkan oleh kaum Quraisy Mekkah. Umar bin al-Khatthab menunjukkan rasa marah dan kecewanya atas sikap Nabi tersebut, tetapi Rasulullah tidak bergeming sedikitpun karena sikap politik itu diambil atas perintah Allah swt.

Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara, Rasulullah saw tidak melakukan negosiasi atau tawar-menawar dalam penjatuhan sanksi kepada para pelaku tindakan kriminal. Beliau pernah menjatuhkan hukuman mati kepada Ma’iz al-Aslami dan al-Ghamidiyah yang terbukti melakukan zina. Beliau pernah pula mengusir kaum Yahudi bani Qainuqa’ dari Madinah karena dengan sengaja menghina kehormatan seorang muslimah dengan menarik jilbabnya hingga terlepas. Semua sanksi hukum tersebut diambil tanpa bermusyawarah atau tawar-menawar dengan siapapun. 

Sebagaimana yang didefinisikan oleh Harold Laski bahwa negara mempunyai kekuatan memaksa, jelaslah bahwa Rasulullah saw menjalankan fungsi sebagai Kepala Negara.

4. Struktur Negara Islam pertama

Layaknya suatu negara, negara Islam yang dibentuk oleh Rasulullah saw memiliki struktur yang khas dan sistematik.

Beliau mengangkat Abubakar dan Umar sebagai wakil Kepala Negara. Al-Hakim dan Tirmidzi telah mengeluarkan hadits dari Abi Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Dua pembantuku dari langit adalah Jibril dan Mikail, sedangkan dari bumi adalah Abubakar dan Umar"

Pada masa itu wilayah kekuasaan Islam mencakup seluruh Jazirah Arab. Untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan (Madinah), Rasulullah menunjuk para wali untuk memimpin wilayah (setingkat propinsi). Wilayah terbagi atas beberapa imalah (setingkat kabupaten) yang dipimpin oleh amil atau hakim.

Rasulullah menunjuk Utab bin Usaid sebagai wali Mekkah pasca-penaklukan, Badhan bin Sasan sebagai wali Yaman, Muadz bin Jabal al-Khazraji sebagai wali al-Janad, Khalid bin Said bin al-Ash sebagai amil San’a, Zaid bin Lubaid bin Tha’labah al-Anshari sebagai wali Hadramaut, Abu Musa al-Ashari sebagai wali Zabid dan Aden, Amr bin al-Ash sebagai wali Oman, dan di dalam kota ditunjuk Abu Dujanah sebagai wali Madinah.

Dalam urusan pengadilan (al-Qadla), Rasulullah saw mengangkat beberapa qadli (hakim). Misalnya Ali bin Abi Thalib sebagai hakim di Yaman, dimana Rasulullah pernah menasihatinya:

"Apabila dua orang yang berselisih datang menghadap kepadamu, jangan segera kau putuskan salahsatu di antara mereka sebelum engkau mendengar pengaduan dari pihak yang lain. Maka engkau akan tahu bagaimana engkau harus memberi keputusan" (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Beliau juga mengangkat Muadz bin Jabal sebagai hakim di al-Janad, dan Rashid bin Abdullah sebagai qadli madzalim yang mengadili kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat.

Dalam urusan kesekretariatan negara (al-jihaz al-idari mashalih al-daulah), Rasulullah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penulis perjanjian, Harits bin Auf sebagai pemegang stempel negara, Huzaifah bin al-Yaman sebagai pencatat hasil pertanian daerah Hijaz, Zubair bin al-Awwam sebagai pencatat shadaqah, Mughirah bin Shu’bah sebagai pencatat keuangan dan transaksi negara, dan Syarkabil bin Hasanah sebagai penulis surat diplomatik ke berbagai negara.

Untuk memusyawarahkan hal-hal tertentu, Rasulullah membentuk Majelis Syura yang terdiri dari tujuh orang Muhajirin dan tujuh orang Anshar, di antaranya adalah Hamzah, Abubakar, Ja’far, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Salman, Ammar, Huzaifah, Abu Dzarr, dan Bilal. 

Untuk posisi panglima perang dipegang sendiri oleh Rasulullah, namun untuk perang-perang sarriyah (tidak diikuti Nabi), beliau menunjuk orang-orang tertentu sebagai panglima perang, misalnya Hamzah bin Abdul Muththalib, Muhammad bin Ubaidah bin al-Harits, dan Saad bin Abi Waqqash menghadapi tentara Quraisy. Lalu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah menghadapi tentara Romawi.

Demikianlah struktur negara Islam pertama secara garis besar.

Bentuk negara Islam

Rasulullah saw bersabda:

"Dahulu bani Israil dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada para Khulafaa dan jumlahnya akan banyak sekali" (HR Bukhari dan Muslim)5 

Menurut pengertian bahasa Arab, khulafaa berarti pengganti. Berdasarkan penegasan Rasulullah bahwa tidak ada nabi lagi sesudah beliau, maka pengganti di sini berfungsi menggantikan kedudukan beliau sebagai Kepala Negara. Hal ini diperkuat oleh keputusan Abubakar yang menyandang gelar Khalifatur-Rasulillah (pengganti Rasulullah sebagai Kepala Negara).

Mahmud Abdul Majid al-Khalidi menjelaskan pengertian Khalifah sebagai berikut: "Khalifah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin secara keseluruhan di dunia untuk mendirikan/melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia".6 

Imam Mawardi mengatakan:

"Imamah (atau Khilafah) adalah suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti peran kenabian dalam urusan memelihara agama (Islam) dan mengendalikan dunia".7 

Dalam masalah yang sama, Ibnu Khaldun menyatakan:

"Hakikat Khalifah adalah Shahibus-Syari’ (yaitu seseorang yang bertugas memelihara dan melaksanakan syariat) dalam memelihara urusan agama dan mengelola dunia".8 

Tentang bentuk negara Khilafah ini, Rasulullah saw telah menegaskannya dalam hadits riwayat al-Bazzar:

"...kemudian akan muncul (kembali) Khilafah yang mengikuti jejak kenabian..." 9 

Berdasarkan penjelasan di atas, Islam mengenal bentuk negara Khilafah Islamiyyah, baik secara normatif maupun praktis sebagaimana yang tercatat dalam lembaran sejarah sejak masa Nabi sampai runtuhnya Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki pada tahun 1924 (penjelasan rinci tentang bentuk negara Khilafah Islamiyyah dapat dibahas pada diskusi selanjutnya, insya Allah).

Membentuk "Masyarakat Madani"

Generasi Islam masa kini telah dijauhkan dari kekayaan khazanah peradaban Islam sehingga mereka mengalami kesulitan besar ketika harus mendeskripsikan konsep kemasyarakatan Islam yang secara normatif diyakini sebagai yang terbaik. Tak heran apabila generasi Islam masa kini lebih pas mendeskripsikan Masyarakat Madinah dengan idiom-idiom yang ironisnya justru diadopsi dari peradaban Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan beragama, kedaulatan rakyat, sosialisme, dan lain-lain.

Salahsatu dampak peracunan Barat (westoxification) terhadap benak kaum muslimin adalah kecenderungan untuk menjauhkan pendekatan hukum dalam penegakan kehidupan Islam. Agama Islam dianggap sebagai agama ritual dan kultural, yang penegakannya dalam sendi-sendi kehidupan cukup dilakukan lewat "dakwah budaya" ala Emha Ainun Nadjib.

Kebesaran peradaban Islam tidak dibangun semata-mata melalui pendekatan kultural. Jika pendekatan model ini yang dipakai Rasulullah, niscaya beliau tidak akan memerangi Romawi dan negara-negara lain untuk menundukkannya di bawah kekuasaan Islam. Bahkan sebelum berdirinya negara Islam di Madinahpun para Sahabat sudah dididik dengan hukum-hukum Islam. Anas ra mengatakan:

"Apabila mereka selesai shalat di pagi hari, mereka duduk berkelompok membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum yang wajib dan yang sunnah" 10 

Hal tersebut dilakukan terang-terangan oleh Nabi dan para Sahabat di depan hidung kaum kafir Quraisy. Shuhaib meriwayatkan:

"Bahwasanya ketika Umar masuk Islam, kami duduk berkelompok di sekitar Baitullah" 11 

Maka jelaslah bahwa Rasulullah saw selalu membina keterikatan para Sahabat dan seluruh kaum muslimin saat itu kepada hukum Islam.

Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah penolakan aspek hukum dalam ajaran Islam dan lebih menitikberatkan pada penerapan norma-norma atau yang sering diistilahkan dengan "nilai-nilai Islam". Hal ini diakibatkan oleh sikap lemah dan menyerah dari kaum muslimin terhadap pola kehidupan saat ini. Mereka merasa bahwa situasi saat ini sudah sangat sulit diubah sehingga upaya maksimal yang dapat dilakukan adalah menyisipkan "nilai-nilai Islam" dalam praktek kehidupan bernegara dan bermasyarakat sembari menunggu dan berharap suatu saat pola kehidupan saat ini akan ber-evolusi menjadi "lebih Islami"

Ajaran Islam tidak mungkin dapat diterapkan dengan cara tersebut. Ajaran Islam bersifat unik, berbeda secara diametral dengan ideologi-ideologi besar lainnya (sosialisme dan kapitalisme), serta memiliki hubungan yang erat antara al-fikrah (ide dasar) dengan at-thariqah (sistematika pelaksanaan). Mengambil ide dasar Islam dengan meninggalkan sistematika pelaksanaannya yang telah diatur dalam Islam adalah tindakan sia-sia.

Seperti saat ini, sebagian kaum muslimin bercita-cita mewujudkan Indonesia Baru sebagai sebuah "Masyarakat Madani", masyarakat berperadaban tinggi yang diadopsi dari perilaku kehidupan Negara Islam pertama yang berpusat di Madinah. Nurcholish Madjid mencirikannya dengan tiga kata serangkai: adil, terbuka, demokratis. Tapi pertanyaan besar segera muncul: apakah adil itu? Apakah terbuka itu? Apakah demokratis itu?

Sampai di sini, sebagian ilmuwan Muslim terjebak pada stereotip Barat tentang keadilan, keterbukaan, dan demokrasi. Gambaran masyarakat Barat masa kini—minus segala sisi suramnya—diadopsi sebagai contoh ideal cita-cita "Masyarakat Madani". Mulai dari Kongres Amerika Serikat yang mampu mengimpeach presiden, sampai tabiat penduduk kota Toronto yang membiarkan burung-burung merpati bebas berkeliaran di taman kota. Semuanya dibenturkan dengan gambaran masyarakat Muslim di negeri-negeri Islam masa kini yang miskin, bodoh, terbelakang, dan selalu terlibat konflik internal maupun eksternal dari masa ke masa. 

Inilah hasil dari suatu proses berpikir yang tidak utuh: meletakkan ide dasar di satu sisi dan sistematika pelaksanaan di sisi lain. Kaum muslimin tiba-tiba tergagap ketika harus mendeskripsikan sistematika Islam untuk mewujudkan suatu masyarakat yang beradab. Kaum muslimin menjadi hilang kepercayaan dirinya bahwa agamanya memiliki risalah lengkap dalam menyelesaikan problematika umat manusia; bukan hanya dalam tataran norma dan nilai-nilai tetapi bahkan sampai pada tataran pelaksanaan praktis.

Ide dasar tentang keterbukaan, misalnya. Dalam sistem Islam, rakyat didorong untuk berani melakukan koreksi terhadap kekeliruan dan kezaliman penguasa. Rasulullah saw bersabda:

"Ketahuilah, demi Allah, hendaklah kalian melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mencegah penguasa melakukan kezaliman, memaksa mereka agar mengikuti kebenaran (syariat Islam), dan membatasinya dengan hanya melaksanakan kebenaran saja" (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)12