GUDANGQ

AL ILM QOBLA QOUL WAL 'AML

Rabu, 21 Januari 2009

logika, filsafat, apa sih itu.....?

by. wahyu_ululalbab_fighter

Berpikir adalah salah satu ciri identitas manusia, dengan berpikir manusia dapat menyelesaikan suatu masalah dengan memberiakn kesimpulan-kesimpulan yang menjadi acuan dalam penyelesaian masalah tersebut. Namun, hal itu bukanlah hal yang dapat dilakukan secara instan tanpa ada kerangka berpikir yang benar.

Oleh karena itu, dalam makalah ini saya mencoba menjelaskan tentang logika. Yang didalamnya turut saya bahas aturan-aturan dalm berpikir disamping makan pemahaman arti logika itu sendiri. Dalam makalah ini saya juga mencoba menampilkan sebuah paham filsafat yang berkaitan dengan kajian logika ini dan ada pula kajian fenomena keseharian yang membahas sebuah hal yang kontroversial.


A. Logika

Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap shahih (valid) jika proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan itu disebut dengan logika.

Logika secara luas dapat didefenisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara shahih”.1 Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan melakukan penelaahan yang seksama hanya terhadap dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif.

Logika induktif erat kaitanya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif adalah kebalikanya yaitu penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat umum menjadi yang bersifat khusus.

Penarikan kesimpulan pada suatu kasus yang berupa suatu statement tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratanya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang ditarik akan salah.

Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. argumentasi matematika seperti a sama dengan b dan bila b sama dengan c maka a sama dengan c merupakan suatu penalaran deduktif. Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru bahwa a sama dengan c pada hakikatnya bukan merupakan pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekadar konsekuensi dari dua pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya.

Tak pernah ada kejutan dalam logika, simpul Wittgenstein, sebab pengetahuan yang diperoleh merupakan kebenaran tautologis.2 Namun benarkah ulangan matematika tidak pernah menimbulkan kejutan? Seperti pernyataan Taufiq Ismail dalam sajaknya yang berjudul Ladang Jagung “bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi empat?”.3

berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar daripada satu. Berpikir tidak dapat dijalankan semaunya. Realitas begitu banyak jenis dan macamnya, maka berpikir membutuhkan jenis-jenis pemikiran yang sesuai. Pikiran diikat oleh hakikat dan struktur tertentu, kendati hingga kini belum seluruhnya terungkap. Pikiran kita tunduk kepada hukum-hukum tertentu.

Memang sebagai perlengkapan ontologisme, pikiran kita dapat bekerja secara spontan, alami, dan dapat menyelesaikan fungsinya dengan baik., terlebih dalam hal yang biasa, sederhana, dan jelas. Namun, tidak demikianlah halnya apabila menghadapi bahan yang sulit, berliku-liku dan apabila harus mengadakan pemikiran yang panjang dan sulit sebelum mencapai lesimpulan. Dalm situasi seperti ini dibutuhkan adanya pemikiran secara formal, pengertian yang sadar akan hukum-hukum pikiran beserta mekanismenya secara eksplisit. Maksudya, hukum-hukum pikiran beserta mekanisme dapat digunakan secara sadar dalam mengontrol perjalanan pikiran yang sulit dan panjang itu


B. Aturan-Aturan Berpikir

Dalam berpikir kita tidak terlepas dari hal yang bernama kondisi. Adapun kondisi tersebut merupakan hal-hal yang harus ada agar segala sesuatu dapat terwuju dan terlaksana. Untuk berpikir benar, logis-dialektis, juga dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu.4


1. Mencintai kebenaran

Merupakan sikap yang mendasar untuk berpikir yang baik, sebab sikap ini senantiasa menggerakan si pemikir untuk mencari, mengusut, meningkatkan mutu penalaranya, menggerakan si pemikir untuk senatiasa mewaspadai “ruh-ruh” atau dalam artian bisikan-bisikan yang akan menyelewengkanya dari kebenaran. Cinta terhadap kebenaran terwujud pada kerajinan yaitu jauh dari kemalasan, ceroboh dan jauh dari takut akan kesulitan. Dan terwuju dalam kejjujuran, selalu sipa meneriam kebenaran meskipun berlawanan dengan prasangaka dan keinginan atau kecenderunga pribadi atau golonganya. Hendaklah kita waspada pada kecenderungan manusiawiuntuk membenarakan terhadap apa-apa yang dianggapanya benar. Kewajiban mencari kebenaran adalah tuntutan intrinsik manusia untuk merealisasikan manusia menurut tuntunan keluhuran keinsananya.


2. Ketahuilah dengan sadar apa yang sedang Anda kerjakan

Kegiatan yang seang dijalankan adalah kgiatan berpikir. Seluruh aktifitas intelek adalah suatu usaha terus menerus mengejar kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya pengetahuan tentang kebenaran tetapi parsia sifatnya. Andaikata intelek kita intuitif, pada setiap langkah, kita dapat melihat kebenaran secara langsung tanpa terlebih dahulu memburunya melalui proses yang berbelit-belit dan banyak seluk beluknya. Pada taraf hidup kita di dunia ini, sifat intelek kita diskursif, dan hanya dalam beberapa hal agak sedikit intuitif. Karena untuk mencapai kebenaran, kita harus bergerak melalui berbagai macam langkah dan kegiatan. Penting bagi kita untuk mengetahui betul semuanya itu agar dapat melaksanakanya dengan tepat dan seksama.


3. Ketahuilah dengan sadar apa yang sedang Anda katakan.

Pikiran diungkapakan dalam kata-kata. Kecermatan pikiran terungkap dalm kecermatan kata-kata. Karenanya kecermatan ungkapan pikiran ke dalam kata merupakan sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Kita senatiasa perlu menguasai ungkapan pikiran kedalam kata-kata. Baik yang emplisit maupun yang eksplisit. Kita harus mengetahaui dengan betul dan seksama mengenai isi (komperehensif), lingkungan(ekstensi), arti fungsional(suposisi) dan istilah(term) yang digunakan, karena istilah merupakan unsur konstitutif dalam penalaran. Ketidaktertiban dalm istilah yang digunakan akan berakibat dalam ketertiban penalaran. Kita harus waspada pada:

a. term ekuivokal (bentuk sama tetapi berbeda arti)

b. term analogis (bentuk sama tetapi arti sebagian sama sebagian juga berbeda)

Ketahuilah pula perbedaan kecil arti (nuansa) dari hal-hal yang kita katakan. Identifikas dan lokalisasi arti tambahan(konotasi) suatu term. Senantiasa kejarlah univokalitas(kesamaan bentuk dan arti) dalam penggunaan term-term. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

a. ampliasi, pembesaran suposisi

b. restriksi, pengecilan suposisi

c. alienasi, perluasan suposisi

d. apelasi, pembatasan suposisi


4. Buatlah distingsi (pembedaan) dan pembagian (klasifikasi) yang wajar

Jika ada dua hal yang tidak mempunyai bentuk yang sama, hl itu jelas berbeda. Tetapi banyak kejadian dimana dua hal atau lebih mempunyai bentuk yang sama, namun tidak identik. Disinilah perlunya dibuat suatu pembeda. Kita harus menghindari konsep pukul rata dalam istilah. Begitu juga perlunya klasifikasi atau pembagian.dalm membuat pembagian, peganglah konsep pembagian yang sama, jangan sampai kita membagi begitu saja tanpa berpegang pada prinsip pembagian yang sama. Bahaya tumpang tindih akan selalu mengancam jika tidak dipakai prinsip pembagian yang sama resilo prinsip berikutnya adalah pikiran kacau balau. Jangan sampai kita mencampuradukan dan menggelapkan sesuatu.


5. Cintai definisi yang tepat

Penggunaa bahasa sebagai ungkapan sesuatu kemungkinan tidak ditangkap sebagaiamana yang akan diungkapakan atau sebagaiamana yang dimaksudkan. Karenya jangan segan membuat definisi, definisi harus diburu hingga terungkap. Definisi berarti pembatasan, yakni membuat jelas batas-batas sesuatu. Harus dihindari kalimat-kalimat dan uraian-uraian “gelap” dalm artian tidak jelas. Cintailah cara berpikir yang terang, jelas, dan jitu dalm membedakan, hingga jelas yang dimaksud sedangkan asosiasi hal-hal lai dikesampingkan.


6. Ketahuilah dengan sadar mengapa Anda menyimpulkan begini dan begitu

Adalah sangat penting kita mengetahui reason atau alasan kenapa kita menyimpulkan sesuatu hal tersebut. Kita harus dapat melihat asumsi-asumsi, implikasi-implikasi, dan konsekuensi dari suatu penuturan, pernyataan, atau kesimpulan yang kita buat. Tidak sedikit seseorang dapat “dipatahkan” karena ia tidak mengetahui dan memahami kenapa dia memiliki suatu kseimpulan secara gamblang.


7. Hindari kesalahan-kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, serta sangguplah mengenali jenis, macam, dan nama kesalahan, demikian juga mengenali sebab-sebab kesalahan pemkiran (penalaran).

Dalam belajar logika ilmiah (scientific) kita tidak hanya mau mengetahui hukum-hukum, prinsip-prinsip, bentuk-bentuk pikiran serta untuk tahu saja. Kita juga perlu:

a. Dalam praktik, menjadi cakap dan cekatan

b. Sanggup mengenali jenis-jenis, macam-macam, nama-nama, sebab-sebab kesalahan dan sanggup menghindarinya bahkan sanggup menyelesaikanya.


C. Kasus Dalam Kajian Logika

1. Filsafat Rasionalisme

Rasionalisme sangat bertentangan dengan empirisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sangat sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail, Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.

Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini.

Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).

Tokoh-tokohnya

1. Rene Descartes (1596 -1650)

2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)

3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)

4. G.W.Leibniz (1946-1716)

5. Christian Wolff (1679 -1754)

6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)


2. Mengkaji Fenomena Keseharian

Dari sedut pandang pemikiran filsafat Rasionalisme tersebut, sekiranya kita dapat mengambil contoh tentang logika di dalam agama. Ada sebuah ungkapan, terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah, yang arti harfiahnya “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”.

Tentu kita bertanya-tanya didalm hati

1)Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan?

2)Ataukah memang mutlak salah?

3)Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan?

4)Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah?

5)Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan?

6)Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini relatif?

Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan atau “angan-angan” yang mungkin (all possible intelligebles).

Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara kodrati dan spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.

Maka sebagai contoh ungkapan dari ‘Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah. Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus.

Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Dan sangat Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir.

Dilihat dari segi pandangan umum, Islam jelas menentang adanya relativisme kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof (pecinta kebijaksanaan) besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan.

Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, merealkan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya atau dengan kata lain mencapai hakikat.5

D. Komentar

Benar adanya bahwa, hidup kita tak terlepas dari proses berpikir. Bahkan ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa dengan berpikirlah kita ada. Kita sadari dan syukuri kita berpikir karena dikaruniakan oleh Rabb kita sebuah hal yang tak dapt kita lihat, tak dapat kita raba bahkan dirasa yaitu akal. Dengan akal kita belogika dan dengan hal yang tak tampak ini kita bisa lihat dinanisme hidup yang dijalani oleh manusia.

Dalam berlogikapun tidak terlepas dari hal-hal yang sistemati suntuk mendapatkan hasil yang munasib(cocok) antara kebenaran hukum dan realita. Terlebih pada hal-hal yang rumit yang membutuhkan proses yang matang. Sehingga perlu ada aturan-aturan dalm berpikir yang bermula dari mencintai kebenaran, karena memang hakikatnya manusia selalu menuntut kebenaran.

Dari artkel yang saya cantumkan pada sub bab C tentangkajian fenomena keseharian, yang saya kutip dari internet terutama pada kajian fenomena keseharian. Penulis menukil perkataan Imam Ibn Taimiyah yang secara textual tertulis bahwa barangsiapa yang menggunakan logikanya maka ia telah kafir. Penulis mengatakan bahwa dengan statement ini maka setiap orang yang berfikir benar telah kafir. Saya sangat tidak seuju dengan hal ini karena penulis artikel ini jika saya lihat hanya memahami perkataan seorang ulama besar tersebut secar kontextual saja. Padahal kita memahami bahwa memang ada hal-hal yang membatasi “petualangan ” logika kita ini. Contohnya dalam memahami atau untuk mengetahui zat Allah. Maka alangkah baiknya penulis juga berfikir bahwa Ibn taimiyah juga seorang pemikir yang tak bisa diremehkan. Bahkan beliau merupakan salah satu tokoh pembaharuan islam.

Namun, saya juga setuju pada pendapat penulis di akhir tulisanya yang menyatakan bahwa penerapan logika tidak menentang agama bahkan menjelaskan tentang agama itu sendiri sehinga sampai pada hakikat kebenaran. Benar, namun menurut saya hal ini berada pada dimensi mahluk. Bukan pada zat Allah seperti yang telah saya sampaikan diatas. Dengan logika kita dapat memahami eksistensi kita kepada Rabb kita. Dengan logika kita menjadi muzakir-muzakir alam walau tanpa mendengungkan tasbih tapi hati dan akal kita memancarkan sinaran tasbih kepada-Nya.

Kesimpulan

Logika merupakan pengkajian berpikir secara benar yang untuk ke arah itu memiliki beberapa aturan. Diantaranya adalah mencintai kebenaran, sadar dengan apa yang dilakukan dan yang dikatakan, dapat menjauhi kesalahan dan teliti pada definisi yang tepat dan hal-hal yang strategis guna mendapatkan kesimpulan yang munasib(cocok).

Saran

Kepada para mahasiswa yang menjadi sebuah icon pendidikan tinggi, hendaknya memiliki kerangka berpikir yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu aturan-aturan dalam berpikir seperti yang telah saya kemukakan hendaklah menjadi referensi dalam menjalankan identitas hidup ini, yaitu berpikir.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta. Rajawali Press.

Ludwig von Wittgenstein. 1972. Tractatus Logico Philosophicus. London. Routledge & Kegan Paul.

Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

William S. Sahakain dan Mabel Lewis Sahakain. 1965. Realism of philosophy. Cambridge Mass. Schenkman.

W. Posporojo. 1999. Logika Scientifika; Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung. Pustaka Grafika.

1William S. Sahakain dan Mabel Lewis Sahakain, Realism of philosophy (Cambridge, Mass.:Schenkman, 1965),hlm. 3.

2Ludwig von Wittgenstein, Tractatus Logico Philosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1972), hlm. 129.

3Taufiq Ismail, loc. cit.

4W. Posporojo, Logika Scientifika; Pengantar Dialektika dan Ilmu,(Bandung: Pustaka Grafika, 1999), hlm. 61.

5Dikutip dari artikel seorang mahasiswa di internet bernama Setyo Ernawati


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda